Selasa, 21 Desember 2010

PENTINGNYA KEPUASAN KERJA BAGI PENINGKATAN KINERJA PEGAWAI


 


Untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Manajemen SDM Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Dr. H. Salim al-Idrus, MM, M.Ag


                                                                
Oleh:
(kelompok III)
Yuliadi
Andi Firmansyah
Arifianto
HM. Dhorifin




PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Nopember, 2010

DAFTAR ISI

HALAMAN  JUDUL....................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1   
A.    Latar Belakang ............................................................................... 1   
B.     Rumusan Masalah ...........................................................................  3     
C.     Tujuan Masalah ...............................................................................  3      

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................  4

A. Definisi Kepuasan Kerja.................................................................... 4
B. Teori-teori Kepuasan Kerja ............................................................... 5
C. Faktor-faktor kepuasan kerja ............................................................. 8
D. Pengukuran Kepuasan Kerja ............................................................. 10
E. Dampak Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja .................................... 12
F. Analisis Kritik ...................................................................................... 14
BAB III PENUTUP........................................................................................... 18
A. Kesimpulan ........................................................................................ 18
B. Rekomendasi ...................................................................................... 18
DAFTAR RUJUKAN                  


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Karyawan dan perusahaan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Karyawan memegang peran utama dalam menjalankan roda kehidupan perusahaan. Apabila karyawan memiliki produktivitas dan motivasi kerja yang tinggi, maka laju roda pun akan berjalan kencang, yang akhirnya akan menghasilkan kinerja dan pencapaian yang baik bagi perusahaan. Di sisi lain, bagaimana mungkin roda perusahaan berjalan baik, kalau karyawannya bekerja tidak produktif, artinya karyawan tidak memiliki semangat kerja yang tinggi, tidak ulet dalam bekerja dan memiliki moril yang rendah.
Hal semacam itu pada akhirnya berdampak pada Kepuasan kerja yang menyangkut sikap seseorang mengenai pekerjaannya. Karena menyangkut sikap, pengertian kepuasan kerja mencakup berbagai hal seperti kondisi dan kecenderungan perilaku seseorang. Kepuasankepuasan itu tidak tampak serta nyata, tetapi dapat diwujudkan dalam suatu hasil pekerjaan. Salah satu masalah yang sangat penting dalam bidang psikologi industri adalah mendorong karyawan untuk bekerja dengan lebih produktif. Untuk itu, perlu diperhatikan agar karyawan sebagai penunjang terciptanya produktivitas kerja dalam bekerja senantiasa disertai dengan perasaan senang dan tidak terpaksa sehingga akan tercipta kepuasan kerja para karyawan. Kepuasan kerja akan berbeda pada masingmasing individu. Sangat sulit untuk mengetahui ciri-ciri kepuasan dari masing-masing individu. Namun demikian, cerminan dari kepuasan kerja itu dapat diketahui. Untuk mengetahui tentang pengertian kepuasan kerja ada beberapa pendapat sebagaimana hasil penelitian Herzberg, bahwa faktor yang mendatangkan kepuasan adalah prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggungjawab, dan kemajuan (Armstrong, 1994: 71). Pendapat lain menyatakan kepuasan kerja (job salisfaction) adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan di mana para karyawan memandang pekerjaan mereka (Handoko, 2001:193). Sedangkan Wexley dan Yulk (1977) yang disebut kepuasan kerja ialah perasaan seseorang terhadap pekerjaan.
Tiffin (1964) juga mengkaitkan kepuasan kerja dengan sikap dari karyawan terhadap pekerjaannya sendiri, situasi kerja, kerjasama antara pimpinan dengan sesama karyawan (dalam As'ad, 2003: 104). Sejalan dengan itu, Martoyo (2000:142) kepuasan kerja (job salisfaction) adalah keadaan emosional karyawan di mana terjadi ataupun tidak terjadi titik temu antara nilai balas jasa kerja karyawan dari perusahaan atau organisasi dengan tingkat nilai balas jasa yang memang diinginkan oleh karyawan yang bersangkutan. Balas jasa kerja karyawan ini, baik yang berupa finansial maupun yang nonfinansial.
Menurut Hulin (1966) gaji merupakan faktor utama untuk mencapai kepuasan kerja. Pendapat ini tidak seluruhnya salah sebab dengan mendapatkan gaji ia akan dapat melangsungkan kehidupannya sehari-hari. Tetapi kenyataannya gaji yang tinggi tidak selalu menjadi faktor utama untuk mencapai kepuasan kerja. Kenyataan lain banyak perusahaan telah memberikan gaji yang cukup tinggi, tetapi masih banyak karyawan yang merasa tidak puas dan tidak senang dengan pekerjaannya. Gaji hanya memberikan kepuasan sementara karena kepuasan terhadap gaji sangat dipengaruhi oleh kebutuhan dan nilai orang yang bersangkutan (As'ad, 2003:113).
Oleh karena itu Blum memperluas  faktor-faktor yang memberikan kepuasan kerja antara lain ialah: (a) faktor individual, meliputi: umur, kesehatan, watak dan harapan; (b) faktor sosial, meliputi: hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat, kesempatan berekreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan berpolitik, dan hubungan kemasyarakatan; (c) faktor utama dalam pekerjaan, meliputi: upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Selain itu, juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial di dalam pekerjaan, kelepatan dalam menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan diperlakukan adil. baik yang menyangkut pribadi maupun tugas (dalam As'ad, 2003:114).
Lebih luas lagi Ghiselli dan Brown mengemukakan lima faktor yang menimbulkan kepuasan (dalam As'ad, 2003:112-113) yaitu: pertama, kedudukan (posisi), umumnya ada anggapan bahwa orang yang bekerja pada pekerjaan yang lebih tinggi akan lebih puas daripada bekerja pada pekerjaan yang lebih rendah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut tidak selalu benar, perubahan tingkat pekerjaanlah yang mempengaruhi kepuasan kerja. Kedua, pangkat (golongan), pada pekerjaan yang mendasarkan perbedaan tingkat (golongan) sehingga pekerjaan tersebut memberikan kedudukan tertentu pada orang yang melakukannya. Apabila ada kenaikan upah, maka sedikit banyaknya akan dianggap sebagai kenaikan pangkat dan kebanggaan terhadap kedudukan yang baru itu akan merubah perilaku dan perasaan. Ketiga, umur dinyatakan bahwa ada hubungan antara kepuasan kerja dengan umur karyawan. Umur antara 25 sampai 34 tahun dan umur 40 sampai 45 tahun adalah merupakan umur-umur yang bisa menimbulkan perasaan kurang puas terhadap pekerjaan. Keempat, jaminan finansial dan jaminan sosial. Masalah finansial dan jaminan sosial kebanyakan berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Kelima, mutu pengawasan, hubungan antara karyawan dengan pihak pimpinan sangat penting dalani arti menaikkan produktivitas kerja.
Dengan demikian dalam meningkatkan produktifitas kerja perlu adanya dorongan-dorongan yang dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan baik finansial maupun nonfinansial supaya perusahaan yang bersangkutan tidak seterusnya berpandangan bahwa hanya finansial yang dapat memeuaskan pekerjaan karyawannya, maka diperluakan kepekaan tersendiri dari perusahaan tersebut untuk mengetahui kebutuhan-kebutuhan karyawannya serta faktor-faktor yang mendorong tercapainya kepuasaan kerja, semua itu demi tercapainya produktifitas kerja dan profesionalisme dalam bekerja.

B.  Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut:
1.    Bagaimana Konsep Kepuasaan Kerja terhadap Produktifitas Kerja?

C.  Tujuan Masalah

1.    Untuk Mengetahui Konsep Kepuasaan Kerja terhadap Produktifitas Kerja.
















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Kepuasaan Kerja.
Kepuasan kerja merupakan hal yang penting yang dimiliki individu di dalam bekerja. Setiap individu  pekerja memiliki karakteristik yang berbeda-beda, maka tingkat kepuasan kerjanyapun berbeda-beda, dan pada akhitnya dampaknya pun tidak sama antara yang satu dengan yang lainnya.
Kepuasan kerja yang tinggi sangat memungkinkan untuk mendorong terwujudnya tujuan perusahaan. Sementara tingkat kepuasan kerja yang rendah merupakan ancaman yang akan membawa kehancuran perusahaan segera maupun secara perlahan. Dengan demikian Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sekumpulan perasaan individu terhadap pekerjaan yang dihadapinya, apakah menyenangkan, tidak menyenangkan, puas, tidak puas, suka atau tidak suka. Untuk lebih memahami tentang pengertian kepuasan kerja ini.
Meurjuk pada diskriptif diatas Devis dan Newstrom (1985:109) mengemukakan: kepuasan kerja adalah “Job satisfaction is the favorableness or unfavorableness with which employees view their work.”  Sedangkan menurut As’ad ( 1999: 104): dengan kengutip pendapatnya Hoppec mendefinisikan “Kepuasan kerja merupakan penilaian dari pekerja yaitu seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya.”
Sejalan dengan definisi diatas Wexley dan Yuk (1977:98), yang mengatakan: “Is the way an employee feel about his or her job, it is a generalized attitude toward the job based on evaluation of different aspect of the job. A person’s attitude toward his job reflect plesant and unpleasant experiences in the job and his expectation about future experiences.”. Kepuasan kerja sebagai perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja secara umum merupakan sikap terhadap pekerjaan yang didasarkan pada evaluasi terhadap aspek-aspek yang berbeda bagi pekerja. Sikap seseorang terhadap pekerjaannya tersebut mengambarkan pengalaman-pengalaman menyenangkan atau tidak menyenangkan dalam pekerjaan dan harapan-harapan mengenai pengalaman mendatang.
Lebih jauh Gibson, Ivanchevich dan Donelly (1996:150-152)  menyatakan: “Kepuasan kerja adalah suatu sikap yang dipunyai individu mengenai pekerjaannya. Hal ini dihasilkan dari persepsi mereka terhadap pekerjaannya, didasarkan pada faktor lingkungan kerja, seperti gaya penyelia, kebijakan dan prosedur, afiliasi kelompok kerja, kondisi kerja, gaji dan tunjangan “. Keadaan yang menyenangkan dapat dicapai jika sifat dan jenis pekerjaan yang harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan nilai yang dimiliki. Kepuasan kerja merupakan : “Suatu pernyataan rasa senang dan positif yang merupakan hasil penilaian terhadap suatu pekerjaan atau pengalaman kerja “ (locke, 1995 : 126).
Menurut Robbins (1996 : 179). Pekerjaan menuntut adanya interaksi sesama rekan kerjanya, atasannya, dan seterusnya, sehingga sikap positif dan negatif akan muncul dalam individu seseorang menurut prosentase tingkat pencapainnya. Dengan demikian robbin menyimpulkan bahwa, kepuasaan kerja merupakan sikap yang umum dalam individu terhadap pekerjaannya
Dengan demikian. Seseorang cenderung bekerja dengan penuh semangat apabila kepuasan dapat diperolehnya dari pekerjaannya dan kepuasan kerja karyawan merupakan kunci pendorong moral, kedisiplinan, dan prestasi kerja karyawan dalam mendukung terwujudnya tujuan perusahaan (Hasibuan, 2003:203). Kepuasan kerja yang tinggi atau baik akan membuat karyawan semakin loyal kepada perusahaan atau organisasi. Semakin termotivasi dalam bekerja, bekerja dengan resa tenang, dan yang lebih penting lagi kepuasan kerja yang tinggi akan memperbesar kemungkinan tercapainya produktivitas dan motivasi yang tinggi pula. Karyawan yang tidak merasa puas terhadap pekerjaannya, cenderung akan melakukan penarikan atau penghindaran diri dari situasisituasi pekerjaan baik yang bersifat fisik maupun psikologis.
Dari berbagai corak pemikiran tersebut dapat diambil benang merahnya bahwa. Seorang individu akan merasa puas atau tidak puas terhadap pekerjaannya merupakan sesuatu yang bersifat pribadi, yaitu tergantung bagaimana ia mempersepsikan adanya kesesuaian atau pertentangan antara keinginan-keinginannya dengan hasil keluarannya (yang didapatnya). Sehingga kepuasan kerja merupakan sikap yang positif dari tenaga kerja meliputi perasaan dan tingkah laku terhadap pekerjaannya melalui penilaian salah satu pekerjaan sebagai rasa menghargai dalam mencapai salah satu nilai-nilai penting pekerjaan. Oleh karenanya Perasaan seorang karyawan terhadap pekerjaan sesunguhnya sekaligus merupakan pencerminan dari sikapnya terhadap pekerjaan.

B.  Teori-teori Kepuasaan Kerja.
Berbicara masalah teori kepuasan semuanya bermula dari teorinya Moslow dalam hierarki kebutuhan. Dimana kepuasan tersebut akan diperoleh karena adanya dorongan-dorongan untuk memenuhi lima kebutuhan yaitu: fisiologi, rasa aman, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri yang ada dalam pribadi individu. Namun dalam makalah ini penulis tidak menggunakan teori yang ditawarkan oleh Moslow tersebut karena teori tersebut kurang cocok bilamana dimasukkan kedalam konsep kepuasan kerja. Moslow hanya menggambarkan terkait dengan bagaimana menumbuhkan dorongan-dorongan yang ada dalam individu yang menimbulkan kepuasan, dan itupun hanya sebatas pada masalah-masalah yang lebih umum. Oleh karena itu dalam makalah ini penulis menspesifikan dengan mengadpsi teorinya Herzberg Two Factor Theory. Dikarenakan teori tersebut banyak diadopsi diberbagai perusahaan, sedangkan teori-teori yang lain penulis hanya menjadikannya sebuah perbandingan dengan teorinya Herzberg atau juga sebuah kepanjangan tangan dari teori tersebut.
1.    Herzberg (Two Factor Theory).
Herzberg menurut penelitiannya, terdapat dua faktor yaitu job satisfiers, faktor-faktor penyebab kepuasan atau disebut dengan motivators, dan job dissatisfiers, faktor-faktor penyebab ketidak puasan atau disebut dengan hygiene factors. Teori ini pararel dengan teorinya Moslow, motivators cenderung pada kebutuhan aktualisasi diri, sedangkan hygiene factors cenderung pada kebutuhan-kebutuhan yang lebih rendah al-khusus kebutuhan keamanan, Miftah Toha (2007: 230-231).
Prinsip dari teori ini adalah bahwa kepuasan dan ketidakpuasan kerja merupakan dua hal yang berbeda. Menurut teori ini, karakteristik pekerjaan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yang satu dinamakan Dissatisfier atau hygiene factors dan yang lain dinamakan satisfier atau motivators.
Satisfier atau motivators adalah faktor-faktor atau situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari prestasi, pengakuan, wewenang, tanggungjawab dan promosi. Dikatakan tidak adanya kondisi-kondisi ini bukan berarti membuktikan kondisi sangat tidak puas, tetapi kalau ada, akan membentuk motivasi kuat yang menghasilkan prestasi kerja yang baik. Oleh sebab itu faktor ini disebut sebagai pemuas.
Hygiene factors adalah faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber kepuasan, terdiri dari gaji, insentif, pengawasan, hubungan pribadi, kondisi kerja dan status. Keberadaan kondisi-kondisi ini tidak selalu menimbulkan kepuasan bagi karyawan, tetapi ketidakberadaannnya dapat menyebabkan ketidakpuasan bagi karyawan As’ad (2004, p.104).
Lebih jauh Herzberg mengklasifikasikan teorinya sebagai berikut : Motivator factor berhubungan dengan aspek-aspek yang terkandung dalam pekerjaan itu sendiri. Jadi berhubungan dengan job content atau disebut juga sebagai aspek intrinsik dalam pekerjaan. Faktor-faktor yang termasuk di sini adalah:
1) Achievement (keberhasilan menyelesaikan tugas).
2) Recognition (penghargaan).
3) Work it self (pekerjaan itu sendiri ).
4) Responsibility (tanggung jawab).
5) Possibility of growth (kemungkinan untuk mengembangkan diri).
6) Advancement (kesempatan untuk maju).
Herzberg (1966) berpendapat bahwa, hadirnya faktor-faktor ini akan  memberikan rasa puas bagi karyawan, akan tetapi pula tidak hadirnya faktor ini  tidaklah selalu mengakibatkan ketidakpuasan kerja karyawan.
Sementara itu Hygiene factor menurutnya adalah faktor yang berada di sekitar pelaksanaan  pekerjaan; berhubungan dengan job context atau aspek ekstrinsik pekerja. faktor-faktor yang termasuk di sini adalah:
1) Working condition (kondisi kerja)
2) Interpersonal relation (hubungan antar pribadi)
3)Company policy and administration (kebijaksanaan perusahaan dan  pelaksanaannya)
4) Supervision technical (teknik pengawasan)
5) Job security (perasaan aman dalam bekerja)
Menurut Herzberg (1959), perbaikan terhadap faktor-faktor ini akan  mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan, tetapi tidak akan menimbulkan kepuasan kerja karena ini bukan sumber kepuasan kerja. Prinsip dasar dari  dinamika faktor ini adalah sebagai berikut:
1) Hygiene factor dapat mencegah atau membatasi ketidakpuasan kerja, tetapi tidak dapat memperbaiki kepuasan kerja.
2) Perbaikan dalam motivator factor dapat mencegah kepuasan kerja, tetapi tidak dapat mencapai ketidakpuasan kerja.
Disisi lain Forter dengan teori Discrepancy Theory (1961) yang diperjelas oleh Locke tahun 1969. Mengatakan  bahwa kepuasan kerja seseorang bergantung pada perbedaan (discrepancy) antara Should be (expectation, needs atau values) dengan apa yang telah diperoleh dari pekerjaan. Jumlah yang diinginkan dari karakteristik pekerjaan didefinisikan sebagai jumlah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan seseorang pada suatu saat. Dengan demikian seseorang akan merasa puas bila tidak ada perbedaan antara yang dinginkan dengan persepsinya atas kenyataan, karena batas minimum yang diinginkan telah terpenuhi.
Serupa tapi tak sama Adam (1963) dengan teori Equity Theory  mengatakan bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas bergantung pada keadilan yang diperolehnya atas suatu situasi. Dalam teori ini terdapat empat faktor yaitu person, input, outcome, dan comparison person. Person adalah individu yang merasa diperlakukan secara adil atau tidak adil. Input adalah segala sesuatu yang bernilai yang disumbangkan seseorang terhadap pekerjaannya seperti pendidikan, pengalaman, keahlian, jumlah upaya yang dicurahkan, jumlah jam kerja dan peralatan  pribadi, persediaan/perlengkapan  yang digunakan dalam pekerjaan. Outcomes adalah sesuatu yang bernilai yang diperoleh karyawan dari pekerjaannya seperti gaji, tunjangan-tunjangan, status, pengakuan dan kesempatan berprestasi. Comparison Person adalah orang lain yang dijadikan sebagai pembanding dalam tes input-outcomes yang dimiliki seseorang. Comparison person ini bisa berasal dari seseorang yang bekerja di perusahan yang sama atau perusahaan lain atau pula bisa dengan dirinya sendiri dimasa lampau. Menurut teori ini, setiap karyawan akan membandingkan rasio input-outcomes dirinya dengan rasio input-outcomes orang lain. Bila perbandingan itu dianggapnya cukup adil, maka ia akan merasa puas. Bila perbandingan itu tidak seimbang tetapi menguntungkan, bisa menimbulkan kepuasan tetapi bisa juga tidak (misalnya pada orang yang moralis). Tetapi bila perbandingan itu tidak seimbang dan merugikan akan timbul ketidakpuasan.
Dengan demikian. Berdasarkan teori tersebut Nampaknya terdapat beberapa indikator untuk mengantarkan seseorang atau pekerja merasa puas dengan pekerjaannya. Dimana kepuasan tersebut dapat diperoleh dengan dua aspek antara instrik dan ekstrinsik, ada pula kepuasan tersebut diperoh jika apa yang diinginkan sesuai dengan kenyataan, membandingkan input outcames dengan yang lainnya akan mendatangkan kepuasan pula. Hal ini jika dikaji lebih mendalam akan menepis anggapan bahwa kepuasan seseorang hanyalah berupa finansial.

C.  Faktor-faktor Kepuasaan Kerja.
Faktor-faktor kepuasan kerja perlu dibahas, khususnya untuk memenuhi pertanyaan tentang apa yang diukur dalam vaariabel kepuasan kerja. Banyak  peneliti memperlihatakan sejumlah aspek situasi yang berbeda sebagai sumber yang penting dari kepuasan kerja. Pendapat tersebut antara lain sebagai berikut : Siagian (1986:25) menyatakan,   bahwa harapan-harapan pada organisasi, biasanya tercermin antara lain : 1). Kondisi kerja yang baik; 2) merasa diikutsertakan dalam proses pengamabilan keputusan, terutama yang menyangkut nasibnya; 3) cara pendisiplinan yang diplomaatik; 4) penghargaan yang wajar atas prestasi kerja; 5) kesetiaan pimpinan terhadap bawahannya; 6) pembaayran yang adil dan wajar; 7) kesempatan promosi dan berkembang dalam organisasi; 8) adanya pengertian pimpinan jika bawahan menghadapi masaslah pribadi; 9) jaminan adanya perlakuan yang adil dan objektif; 10) pekerjaan yang menarik.
Mengutip vaariabel-variabel yang ditanyakan dalam kepuasan kerja yang dikembangkan Weis, Dawis, England dan Logquist (1967) yang dikenal dengan Minnessota Satisfaction Questionare (MSQ). Daftar tersebut terdiri dari 100 item pertanyaan yang dikelompokkan mrnjaadi 20 faktor, yaitu : 1) pengunaan kemampuan; 2) kepandaian; 3) aktivitas; 4) kemajuan; 5) kewenangan; 6) kreaativitas; 7) kebijaksanaan dan praktek perusahaan; 8) kompensasi; 9) teman sekerja; 10) kebebasan nilai moral; 11) pengakuan; 12) tanggungjawab; 13) keamanan; 14) social; 15) status social; 16) pengawasan hubungan manusia; 17) teknik pengawasan; 18) pergantian; 19) kondisi kerja; 20) promosi. ( Feldman dan Arnold, 1983:213)
Sedangkan menurut As’ad dengan menrutip (1999:114) pendapatnya Gilmer (1966) mengatakan, bahwa  faktor-faktor yang menimbulkan kepusan kerja adalah : 1) kesempatan untuk maju; 2) keamanan kerja; 3) gaji atau upah; 4) perusahaan dan manajemen; 5) pengawasan (supervisi); 6) faktor intrinsic  dari pekerjaan; 7) kondisi kerja; 8) aspek sosial dalam pekerjaan; 9) komunikasi; 10) fasilitas.
Lagi-lagi As’ad  (199:115) mengutip Penelitian yang dilakukan oleh Caugemi dan Calaypool (1978), menemukan bahwa hal-hal yang menimbulkan rasa puas adalah: 1) prestasi; 2) penghargaan; 3) kenaikan jabatan; dan 4) pujian. Sedangkan yang menimbulkan perasaan tidak puas adalah: 1) kebijakan perusahan; 2) supervisor; 3) kondisi kerja; dan  4) gaji atau upah.
Pendapat lain dalam bahasa yang berbeda merinci Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu : (Hasibuan, Melayu 2001 : 203).
1. Balas jasa yang adil dan layak
2. Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian
3. Berat ringannya pekerjaan
4. Suasana dan lingkungan pekerjaan
5. Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan
6. Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya
7. Sifat pekerjaan monoton atau tidak
Menurut, Robbins (1996 : 181) bahwa kepuasan kerja dipengaruhi oleh:
1. Kerja yang secara mental menantang
2. Ganjaran yang pantas
3. Kondisi kerja yang mendukung
4. Rekan sekerja yang mendukung

Dari berbagai pendapat di atas dapat dirangkum mengenai faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja, yaitu :
  1. Faktor psikologik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan, yang meliputi: minat; ketentraman dalam bekerja, sikap terhadap kerja, bakat, dan keterampilan
  2. Faktor Sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi social, baik antara sesama karyawan, dengan atasannya maupun karya-wan yang berbeda jenis pekerjaannya.
  3. Faktor fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja dan istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu udara, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur dan sebagainya.
  4. Faktor finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan karyawan, yang meliputi sistem dan besarnya gaji atau upah, jaminan sosial, macam-macam tunjangan,fasilitas yang diberikan, promosi dan sebagainya. (As’ad, 1999:115-116)
D.  Pengukuran Kepuasaan Kerja.
Terdapat banyak cara untuk mengukur kepuasan kerja karyawan dalam suatu organisasi/perusahaan baik besar maupun kecil. Menurut Luthan (1989:177-180) terdapat empat cara yang dapat dipakai untuk mengukur kepusan kerja, yaitu (!) Rating Scale, (2) Critical incidents, (3) Interviews dan (4) Action Tendencies.
1.        Rating Scale
Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur kepuasan kerja  dengan menggunakan Rating Scale antara lain: (1) Minnessota  Satisfaction Questionare, (2) Job Descriptive Index, dan (3) Porter Need Satisfaction Questionare.
Minnesota Satisfaction Questionare (MSQ) adalah suatu instrumen atau alat pengukur kepuasan kerja yang dirancang demikian rupa yang di dalamnya memuat secara rinci unsur-unsur yang terkategorikan dalam unsur kepuasan dan unsur ketidakpuasan. Skala MSQ mengukur berbagai aspek pekerjaan yang dirasakan sangat  memuaskan, memuaskan, tidak dapat memutuskan, tidak memuaskan dan sangat tidak memuaskan. Karyawan diminta memilih satu alternatif jawaban yang sesuai dengan kondisi pekerjaannya.
Job descriptive index. adalah suatu instrumen pengukur kepuasan kerja yang dikembangkan oleh Kendall, dan Hulin. Dengan instrumen ini dapat diketahui  secaara luas bagaimana sikap karyawan terhadap komponen-komponen dari pekerjaan itu. Variabel yang diukur adalah pekerjaan itu sendiri, gaji, kesempatan promosi, supervisi dan mitra kerja.
Porter Need Satisfaction Questionare adalah suatu intrumen pengukur kepuasan kerja yang digunakan untuk mengukur kepuasan kerja para manajer. Pertanyaan yang diajukan lebih mempokuskan diri pada permasalahan tertentu dan tantangan yang dihadapi oleh para manajer.
2.        Critical Incidents
Critical Incidents dikembangakan oleh Frederick Herzberg. Dia menggu-nakan teknik ini dalam penelitiannya tentang teori motivasi dua faktor. Dalam penelitiannya tersebut dia mengajukan pertanyaan kepada para karyawan tentang faktor-faktor apa yang saja yang membuat mereka puas dan tidak puas.
3.        Interview
Untuk mengukur kepuasan kerja dengan menggunakan wawancara yang dilakukan terhadap para karyawan secara individu. Dengan metode ini dapat diketahui secara mendalam mengenai bagaimana sikap karyawan terhadap berba-gai aspek pekrjaan.
4.        Action Tendencies
Action Tendencies dimaksudkan sebagai suatu kecenderungan   seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kepuasan kerja  karyawan dapat dilihat berdasarkan action tendencies. Dalam penelitian ini kepuasan kerja diukur dengan menggunakan model fixed response scale yang dikembangakan dalam instrumen Minnesota Satisfaction Questionare (MSQ).
Sementara itu menurut Robbins (Wibowo:2007) ada dua pendekatan yang digunakan untuk melakukan pengukuran kepuasan kerja yaitu :
1.         Single Global Rating yaitu meminta individu merespon atas suatu pertanyaan seperti; dengan mempertimbangkan semua hal, seberapa puas anda dengan pekerjaan anda? Individu bisa menjawab puas dan tidak puas.
2.         Summation Scorenyaitu dengan mengidentifikasi elemen kunci dalam pekerjaan dan menanyakan perasaan pekerja tentang maing-masing elemen. Faktor spesifik yang diperhitngkan adalah sifat pekerjaan, supervisi, upah, kesempatan promosi dan hubungan dengan rekan kerja.
            Berdasarkan uraian diatas, maka pengukuran kepuasan kerja tidak serta-merta dilakukan secara menduga-duga, perlu adanya paradigma kuantitatif, dikarenakan kepuasan kerja karyawan berbeda antara satu-dengan yang lainnya. Pengukuran kepuasan kerja diatas hanyalah metodologi untuk mengetahui sejauh mana kinerja karyawan dalam pekerjaannya.

E.  Dampak Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja.
1.      Produktifitas atau kinerja (Unjuk Kerja).
Lawler dan Porter mengharapkan produktivitas yang tinggi menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja hanya jika tenaga kerja mempersepsikan bahwa ganjaran instrinsik dan ganjaran ekstrinsik yang diterima kedua-duanya adil dan wajar dan diasosiasikan dengan unjuk kerja yang unggul. Jika tenaga kerja tidak mempersepsikan ganjaran intrinsik dan ekstrinsik yang berasosiasi dengan unjuk kerja, maka kenaikan dalam unjuk kerja tidak akan berkorelasi dengan kenaikan dalam kepuasan kerja. Asad (2004:113).
Menurut Blunchor dan Kapustin yang dikutip oleh Sinungan (1987: 9) berpendapat bahwa, produktivitas kadang-kadang dipandang sebagai penggunaanintensif terhadap sumber-sumber konversi seperti tenaga kerja dan mesin yang diukur secara tepat dan benar-benar menunjukkan suatu penampilan yang efisiensi.
2.      Disiplin.
 Disiplin adalah kegiatan manajemen untuk menjalankan standar- standar organisasional. Secara etiomologis, kata “disiplin” berasal dari kata  Latin “diciplina” yang berarti latihan atau pendidikan kesopanan dan kerohanian  serta pengembangan tabiat (Moukijat 1984).
Pengertian disiplin dikemukakan juga oleh Nitisemito (1988), yang  mengartikan disiplin sebagai suatu sikap, perilaku dan perbuatan yang sesuai  dengan peraturan dari perusahaan, baik tertulis maupun tidak tertulis..
Menurut Nitisemito (1988) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya perilaku disiplin kerja, yaitu: tujuan pekerjaan dan kemampuan pekerjaan, teladan pimipin, kesejahteraan, keadilan, pengawasan melekat (waskat), sanksi hukum, ketegasan, dan hubungan kemanusiaan.
Perilaku disiplin karyawan merupakan sesuatu yang tidak muncul dengan sendirinya, tetapi perlu dibentuk. Oleh karena itu, pembentukan perilaku disiplin kerja, menurut Commings (1984) dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu: 1) Preventive dicipline. Preventive dicipline merupakan tindakan yang diambil untuk mendorong para pekerja mengikuti atau mematuhi norma-norma dan aturan-aturan sehingga pelanggaran tidak terjadi. Tujuannya adalah untuk mempertinggi kesadaran pekerja tentang kebijaksanan dan peraturan pengalaman kerjanya. 2) Corrective discipline. Corrective discipline merupakan suatu tindakan yang mengikuti  pelanggaran dari aturan-aturan, hal tersebut mencoba untuk mengecilkan  pelanggaran lebih lanjut sehingga diharapkan untuk prilaku dimasa mendatang dapat mematuhi norma-norma peraturan
Pada dasarnya, tujuannya semua disiplin adalah agar seseorang dapat bertingkah laku sesuai dengan apa yang disetujui oleh perusahaan. Dengan kata lain, agar seseorang dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik.
Namun demikian, ketika bekerja, seorang karyawan dapat menampilkan perilaku yang tidak disiplin. Gibson dkk. (1988) mengemukakan beberapa perilaku karyawan tidak disiplin yang dapat dihukum adalah keabsenan, kelambanan, meninggalkan tempat kerja, mencuri, tidur ketika bekerja, berkelahi, mengancam pimpinan, mengulangi prestasi buruk, melanggar aturan dan kebijaksanaan keselamatan kerja, pembangkangan perintah, memperlakukan pelanggaran secara tidak wajar, memperlambat pekerjaan, menolak kerja sama dengan rekan, menolak kerja lembur, memiliki dan menggunakan obat-obatan ketika bekerja, merusak peralatan, menggunakan bahasa atau kata-kata kotor, pemogoan secara ilegal.
Berdasarkan uraian teoritis yang telah dikemukakan di atas, peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut: Tterdapat hubungan yang sangat positif anatara disiplin dan kepuasan kerja. Semakin tinggi kepuasan kerja karyawan, maka semakin baik disiplin kerja karyawan. Sebaliknya, semakin rendah kepuasan kerja karyawan, maka semakin buruk disiplin kerja karyawan.
3.      Ketidakhadiran dan Turn Over.
Porter & Steers mengatakan bahwa ketidakhadiran dan berhenti bekerja merupakan jenis jawaban yang secara kualitatif berbeda. Ketidakhadiran lebih bersifat spontan sifatnya dan dengan demikian kurang mungkin mencerminkan ketidakpuasan kerja. dalam Asad (2004, p.115). Lain halnya dengan berhenti bekerja atau keluar dari pekerjaan, lebih besar
kemungkinannya berhubungan dengan ketidakpuaan kerja. Menurut Robbins (1996) ketidakpuasan kerja pada tenaga kerja atau karyawan dapat diungkapkan ke dalam berbagai macam cara. Misalnya, selain meninggalkan pekerjaan, karyawan dapat mengeluh, membangkang, mencuri barang milik organisasi, menghindari sebagian dari tanggung jawab pekerjaan mereka.
Empat cara mengungkapkan ketidakpuasan karyawan, (p. 205) : 1) Keluar (Exit): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan meninggalkan pekerjaan. Termasuk mencari pekerjaan lain. 2) Menyuarakan (Voice): Ketidakpuasan kerja yang diungkap melalui usaha aktif dan konstruktif untuk memperbaiki kondisi termasuk memberikan saran perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasannya. 3) Mengabaikan (Neglect): Kepuasan kerja yang diungkapkan melalui sikap membiarkan keadaan menjadi lebih buruk, termasuk misalnya sering absen atau dating terlambat, upaya berkurang, kesalahan yang dibuat makin banyak. 4) Kesetiaan (Loyalty): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan menunggu secara pasif sampai kondisinya menjadi lebih baik, termasuk membela perusahaan terhadap kritik dari luar dan percaya bahwa organisasi dan manajemen akan melakukan hal yang tepat untuk memperbaiki kondisi. 5) Kesehatan Meskipun jelas bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan kesehatan, hubungan kausalnya masih tidak jelas. Diduga bahwa kepuasan kerja menunjang tingkat dari fungsi fisik mental dan kepuasan sendiri merupakan tanda dari kesehatan. Tingkat dari kepuasan kerja dan kesehatan mungkin saling mengukuhkan sehingga peningkatan dari yang satu dapat meningkatkan yang lain dan sebaliknya penurunan yang satu mempunyai akibat yang negatif.

F.   Analisis Kritik.
Berdasarkan uraian diatas, analisis yang penulis lakukan dalam makalah ini hanya bersifat analisis diskriptif. Yaitu mendiskripsikan kembali uraian diatas dengan menganalisi beberapa pendapat yang telah dipaparkan dimuka kemudian sambil lalu mengkritisi beberapa teori yang sekiranya kurang relevan dengan realitas yang sedang berkembang. Oleh karenanya kembali pada teori Herzberg (Two Factor Theory). Satisfier atau motivators adalah faktor-faktor atau situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari prestasi, pengakuan, wewenang, tanggungjawab dan promosi. Dikatakan tidak adanya kondisi-kondisi ini bukan berarti membuktikan kondisi sangat tidak puas, tetapi kalau ada, akan membentuk motivasi kuat yang menghasilkan prestasi kerja yang baik. Oleh sebab itu faktor ini disebut sebagai pemuas. Sedangkan Hygiene factors adalah faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber kepuasan, terdiri dari gaji, insentif, pengawasan, hubungan pribadi, kondisi kerja dan status. Keberadaan kondisi-kondisi ini tidak selalu menimbulkan kepuasan bagi karyawan, tetapi ketidakberadaannnya dapat menyebabkan ketidakpuasan bagi karyawan As’ad (2004, p.104).
Jelas sekali bahwa dalam teori tersebut terdapat dua indikator yang harus dibedakan yaitu pemuas dan sumber pemuas tersebut. Dengan demikian, teori ini menunjukkan bahwa untuk dicapainya situasi kerja yang sehat dan produktif maka perusahaan harus berusaha untuk meminimalisasi ketidakpuasan kerja dan memaksimalkan kepuasan kerja dengan cara mengelola sebaik-baiknya hygiene factors dan motivator factors. lebih jelasnya dibawah ini terdapat Aspek-aspek kepuasan kerja meliputi:
1.    Kepuasan terhadap sifat pekerjaan (sejauh mana ciri-ciri pekerjaan tersebut dipandang menarik dan berharga di mata karyawan).
2.    Kepuasan terhadap perilaku pimpinan (sejauh mana pimpinan dipandang memiliki kapabilitas kepemimpinan yang baik, serta bersikap dan berperilaku baik terhadap karyawan).
3.    Kepuasan terhadap perilaku rekan kerja (sejauh mana rekan-rekan kerja dipandang berkualifikasi, bersikap, dan berperilaku kerja positif, dan memotivasi karyawan).
4.    Kepuasan terhadap gaji/kompensasi (sejauh mana gaji/kompensasi yang diterima karyawan dipandang adil dan memuaskan, baik sistem maupun jumlahnya).
Dari kekempat aspek tersebut kiranya teori Forter Discrepancy Theory (1961) dan teorinya Adam (1963) Equity Theory juga mengarah pada empat aspek tersebut dimana kepuasan kerja didapat apbila tidak ada perbedaan antara yang diharapkan dengan kenyataan juga kepuasan tersebut didapat setelah membandingkan antara dirinya dan dirimu, kalau boleh dikatakan ada semacam kompetisi dalam mendatangkan kepuasan semacam ini dikarenakan ketika sesuatu yang ada pada dirinya lebih rendah dari pada apa yang ada pada orang lain maka besar kemungkinan ia tidak terpuaskan, sebaliknya terpuaskan atau merasa puas jika lebih tinggi darinya. Hanya saja dari berbagai pendapat tersebut hanya sebatas diskripsi bagaimana mendatangkan kepuasan kerja serta upaya apa yang harus dilakukan?. Juga pendapat tersebut kurang menyinggung adanya dampak frustasi ketika karyawan dan sejenisnya mengalami frustasi dalam pekerjaannya. Akibatnya menurut Robbins (2003): Ada empat cara tenaga kerja mengungkapkan ketidakpuasan:
a. Keluar (Exit) yaitu meninggalkan pekerjaan termasuk mencari pekerjaan lain.
b. Menyuarakan (Voice) yaitu memberikan saran perbaikan dan mendiskusikan masalah dengan atasan untuk memperbaiki kondisi.
c. Mengabaikan (Neglect) yaitu sikap dengan membiarkan keadaan menjadi lebih buruk seperti sering absen atau semakin sering membuat kesalahan.
d. Kesetiaan (loyality) yaitu menunggu secara pasif samapi kondisi menjadi lebih baik termasuk membela perusahaan terhadap kritik dari luar.
Oleh karena itu Strauss dan Sayles (1980) menganggap kepuasan kerja sangat penting untuk aktualisasi dini. Karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis dan pada gilirannya akan menjadi frustasi. Karyawan seperti ini akan sering melamun, mempunyai semangat kerja rendah, cepat lelah dan bosan, emosinya tidak stabil, sering absen dan tidak melakukan kesibukan yang tidak ada hubungan dengan pekerjaan yang harus dilakukan.
Seorang manajer tidak cukup dengan teori-teori tersebut, maka perlu sekali untuk mengetahui penyebab apa sehingga kepuasan itu datang dalam diri individu. Dalam realitasnya seseorang akan merasa puas dengan apa yang telah dikerjakannya ketika ada bayaran berupa uang, kasarnya hanya uang yang dpat mendatangkan kepuasaan tersebut contoh Salah satu perusahaan rokok terkenal (PT......) di Jawa Timur yang sudah beroperasi lebih 80 tahun lamanya telah menciptakan suatu budaya perusahaan yang menjadi visi dan misi perusahaan untuk ke arah produktivitas yang baik. Namun terjadi demonstrasi di Divisi Transportasi (PT......) disebabkan oleh adanya kebijakan manajemen untuk menggunakan jasa transportasi luar perusahaan untuk pengiriman barang-barang ke berbagai daerah. Keputusan manajemen menggunakan jasa angkut pihak luar ini, karena pengiriman barang ke berbagai sering mengalami keterlambatan. Dengan dipakainya jasa transportasi pihak luar ini, maka para sopir dan kernet merasa insentif yang diterimanya akan berkurang. Begitu juga premi perjalanan luar kota, uang lembur maupun kompensasi lainnya akan hilang. Inilah yang memicu para sopir dan kernet berunjuk rasa melakukan demonstrasi terhadap pimpinan perusahaan.
Kejadian tersebut  jika disesuaikan dengan konsep kepuasan kerja disebabkan oleh karena secara nilai ektrinsik dan intrisik para supir merasa tidak memperoleh kepuasan kerja:
Nilai kerja Intrinsik bagi (PT......) Kerja tidak menarik, Mungkin karena sehari hari hanya menyetir mobil, Kerja kurang menantang, karena sudah terbiasa dengan pekerjaan yang ada jadi tidak adanya tantangan, Tidak belajar suatu yang baru, tidak membuat kontribusi penting.Karena sistem sudah berjalan, jadi tinggal menjalankan saja, tanpa harus membuat konsep baru, tidak menganggap potensi tinggi, karena hanya bisa menyetir, Kurang tanggung jawab dan otonomi,karena gaji dan fasilitas kecil,Kurang kreatif,karena melakukan hal-hal yang monoton setiap hari. Nilai kerja Ektrinsik bagi (PT......) Gaji tidak tinggi jadi mereka berkerja hanya karena merasa sudah digaji dan enggan bernuat lebih dari pekerjaan mereka, Keamanan Kerja,tidak ada keamanan kerja karena dipakai transportasi luar dari perusahaan, keuntungan kerja,tidak akan adanya keuntungan kerja lagi,karena tidak ada premi perjalanan, uang lembur dan kompensasi yang lain hilang karena adanya transportasi dari luar, status pada komunitas yang lebih luas,Kontak sosial, waktu dengan keluarga, waktu untuk hobi, mungkin memang tidak bisa punya banyak waktu untuk hal tersebut.
Dengan Nilai nilai tersebut diatas maka timbul sikap yang diakibatkan oleh :
1. Job Satisfaction berkurang , ditandai dengan demonstrasi dengan tuntutan perbaikan fasilitas dan kompensasi yang meningkat tiap tahun
2. Job Involvement berkurang, karena merasa dianggap tidak mampu sehingga menyentuh ego harga diri mereka
3. Organizational Commitment adalah personal need, mereka lebih mementingkan uang yang bisa masuk ke kantung mereka ketimbang profesionalisme perusahaan secara keseluruhan.
Dan terbentuknya sikap itu membuat mereka memilih untuk mengungkapakan ketidak puasan mereka secara Respon Voice (aktif dan konstruktiv), mereka mengeluarkan suaa dengan cara demontrasi. Intinya mereka tetap mau supaya transportasi tidak diserahkan pada pihak luar tapi tetap dijalankan oleh mereka.




BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas maka dapat diambil sebuah kesimpulan tentang “pentingnnya kepuasan kerja bagi peningkatan kinerja para pegawai”, sebagai berikut:
1.      kepuasan kerja adalah sikap yang positif dari tenaga kerja meliputi perasaan dan tingkah laku terhadap pekerjaannya melalui penilaian salah satu pekerjaan sebagai rasa menghargai dalam mencapai salah satu nilai-nilai penting pekerjaan. Adapun teori kepuasan kerja Two factor theory yang dikemukakan oleh Herzberg (1966). Prinsip-prinsip teori ini adalah bahwa kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu tidak merupakan variabel yang kontinyu (dalam As'ad, 2003: 108). Berdasarkan hasil penelitiannya Herzberg membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok yaitu: (a) statisfers atau motivator, factor-faktor atau situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan yang terdiri dari: achievement, recognition, work it self, responsibility dan advancement; dan (b) dissatifiers atau hygiene factors, yaitu faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber ketidakpuasan, seperti: company policy and administration, supervision tehnical, salary, interpersonal relations, working condition, job security dan status.
Sedangkan dalam teori equity theory yang dikembangkan oleh Adam (1963). Pada prinsipnya teori ini mengemukakan bahwa orang akan merasa puas sepanjang mereka merasa ada keadilan (equity). Perasaan equity dan inequity atas suatu situasi diperoleh orang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor, maupun di tempat lain. Teori ini mengidentifikasi elemen-elemen equity meliputi tiga hal, yaitu: (a) input, adalah sesuatu yang berharga yang dirasakan oleh pegawai sebagai masukan terhadap pekerjaannya; (b) out comes, adalah segala sesuatu yang berharga yang dirasakan sebagai dari hasil pekerjaannya; (c) comparisons persona, adalah perbandingan antara input dan out comes yang diperolehnya.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah : 1) Faktor psikologik. 2) Faktor fisik. 3)  Faktor Finansial. 4) dan Faktor sosial.
B.  Rekomendasi
sebelum mengambil suatu kebijakan dan keputusan perusahaan terutama untuk merubah kebijakan perusahaan yang sudah lama dan rutin dilakukan, manajemen perusahaan harus memahami dan mempelajari terlebih dahulu konsep-konsep nilai, sikap dan kepuasan kerja. Komunikasi yang efektive seharusnya diambil oleh perusahaan agar bisa didapatkan kesepakatan yang menggembirakan. Beberapa petunjuk bagi pimpinan dalam berkomunikasi dengan anggota:
1.      Pimpinan harus committed terhadap pentingnya komunikasi.
2.      Tindakan harus sesuai dengan perkataan.
3.      Kommit terhadap komunikasi dua arah.
4.      Penekanan pada komunikasi tatap muka.
5.      Pastikan para karyawan mendapatkan informasi yang benar dan cukup.
6.      Dealing with bad news.
7.      Kebutuhan informasi tidak sama bagi setiap karyawan/kelompok.
8.      Treat komunikasi sebagai suatu proses yang terus.
9.      Menyediakan informasi yang sesuai dengan kebutuhan anggota organisasi untuk membuat keputusan.
10.  Sebagai alat untuk memotivasi anggota. Komunikasi dibutuhkan untuk menjelaskan tujuan organisasi, memberikan umpan balik terhadap pencapaian tujuan dan penguatan terhadap perilaku anggota.
11.  Sebagai alat untuk mengendalikan perilaku.
12.  Sebagai media untuk mengungkapkan emosi.















DAFTAR RUJUKAN

Suprihanto, John, dkk. 2003. Perilaku Organisasi. Yokyakarta: YKPN.
Hasibuan, Malayu. 2001. Dasar-dasar Manajemen: Konsep dan Aplikasi. Airlangga Press, Surabaya.
______________. 2003. Organisasi dan Motivasi: Dasar Peningkatan Produktivitas. Jakarta: Bumi Aksara.
Fatah, Nanang. 1996. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Rosdakarya.
Surakhmad, Winarno. 1994. Pengantar Penelitian  Ilmiah  Dasar Metode dan Teknik, Tarsito, Bandung.
Toha, Miftah. 1983. Kepemimpinan dalam Manajemen, Suatu Pendekatan Perilaku. Jakarta: PT Raja Grafindo  Persada.
As’ad, Moh. 1998. Psikologi Industri. (Edisi kelima). Yogyakarta: liberty.
Wahjusumidjo, S. 1992. Teori Organisasi: Konsep Dasar. Jakarta: Pt. Graha Medika.
Winardi, Imam. E.K. 2000, Asas-asas Kepemimpinan. Jakarta: Usaha Nasional.


 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar