Sabtu, 25 Desember 2010

PERPISAHAN KULIAH TENGAH SMTR 1 2010 DENGAN MR. SALIM







COMPARE AND CONTRAST




Compare And Contrast
1.      Find out two articles that have the same topic. For example, islamic education management in America and IEM in Asia or Singapore, etc.
2.      Read those two articles
3.      Find out the similarities and differences
4.      This is an individual presentation using power point presentation
5.      The presentation will last in 5-7 minutes
Layout
A.    INTRODUCTION
Tell briefly about each of the article. For example, article A is written by……….. talks about …….. and article B written by ………………….. describes…………… Mention also here the topic of article heppened.
B.     SIMILARITIES
Find out similarities of those two articles. For example, there are four similarities found from those two articles:
1.      ………………………………… explain
2.      ………………………………… explain
3.      ………………………………… explain
4.      ………………………………… explain
C.     DIFFERENCES
Mention the differences of those two articles. For example, there are three differences found in that articles:
1.      ………………………………… explain
2.      ………………………………… explain
3.      ………………………………… explain
D.    CONCLUSION
E.     RECOMMENDATION
Mention something that you learn from those two articles, or something which is important for your knowladge

SURAT IJIN TIDAK MASUK KULIAH



Malang, 28 Desember 2010
Yth. Bapak Drs. H. Djoko Susanto, M.Ed., Ph.D
di-
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang


Assalamualaikum Wr. Wb.
Dengan surat ini, saya beritahukan bahwa :
Nama Mahasiswa         : ANDY FIRMANSYAH
NIM                             : 10710001
 Prodi                          : S2 MPI
Mata Kuliah                : Bahasa Inggris untuk Studi Islam
Tidak dapat mengikuti perkuliahan seperti biasanya dikarenakan ijin ada tugas dari Kepala Madrasah Tsanawiyah Negeri Malang 3 untuk mendampingi anak-anak kelas 9  melaksanakan SKAL (Studi Kenal Alam Lingkungan) ke Jogyakarta dari tanggal 27 – 29 Desember 2010. Mohon Bapak dapat memakluminya, atas izin Bapak saya mengucapkan terima kasih.


Wassalammualaikum Wr. Wb.


Hormat Saya,


ANDY FIRMANSYAH








Malang, 28 Desember 2010
Yth. Ibu Prof. Dr. Wiji Astuti, MM.
di-
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang


Assalamualaikum Wr. Wb.
Dengan surat ini, saya beritahukan bahwa :
Nama Mahasiswa         : ANDY FIRMANSYAH
NIM                             : 10710001
 Prodi                          : S2 MPI
Mata Kuliah                : Manajemen Pendidikan Islam
Tidak dapat mengikuti perkuliahan seperti biasanya dikarenakan ijin ada tugas dari Kepala Madrasah Tsanawiyah Negeri Malang 3 untuk mendampingi anak-anak kelas 9  melaksanakan SKAL (Studi Kenal Alam Lingkungan) ke Jogyakarta dari tanggal 27 – 29 Desember 2010. Mohon Bapak dapat memakluminya, atas izin Bapak saya mengucapkan terima kasih.


Wassalammualaikum Wr. Wb.


Hormat Saya,


ANDY FIRMANSYAH

Selasa, 21 Desember 2010

TAFSIR HERMENEUTIKA



(Memahami Teks, Konteks, Dan Kontekstual Al-Qur’an)


Untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Studi Al-Qur’an.
Dosen Pengampu: Aunur Rofiq, Lc., M.Ag., Ph.D


Oleh:
YULIADI
NIM : 10710026






PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Nopember , 2010
 

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Di tanah air, kajian-kajian wacana Islam kekinian semakin ramai ditandai dengan menjamurnya komunitas yang terus menyemarakkan nuansa intelektual nusantara. Diantara wacana yang ditawarkan adalah kajian hermeunetika, yang kemudian dikaitkan dengan metode penafsiran al-Quran yang dianggap sakral oleh ummat Islam. Memang, kata hermeunetika adalah istilah asing (baca: tidak akrab dengan istilah internal al-Quran), akan tetapi tiba-tiba terminologi ini muncul, dan sarat dengan kajian qiro’at (baca:gaya menafsirkan) al-Quran. Untuk memperjelas terminologi yang berkesan relatif baru muncul ini, alangkah baiknya, terlebih dahulu mencari asal usul terminologi ini, sehingga para sarjana Islam tidak harus terjebak dengan propaganda ilmiah yang akhir-akhir ini terus berkembang di tanah air, dan tidak pula selalu beranggapan semu terhadap hermeunetika yang dianggap sebagai kebobrokan tafsir.
Ada beberapa pendapat ulama mengenai arti terminologi al-Quran. Mannâ‘ al- Qaththân mendefinisikannya sebagai kalamullah yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. yang dibaca ketika beribadah. Imam al-Zurqânî dalam pengertian yang lebih panjang memasukkan tiga unsur lain; mukjizat, yang tertulis dalam mushaf dan teriwayatkan secara mutawatir.
 Dalam pandangan yang berbeda Menurut Nasr Hamid Abu Zayd (Tekstualitas Al-Quran, 2000), Al-Quran sebagai sebuah teks pada dasarnya adalah produk budaya, sehingga tidak ada bedanya dengan buku-buku lain yang juga produk akal manusia. Bahkan Mohammed Arkoun (Rethinking Islam, 1999). Menegaskan bahwa, sebuah tradisi akan kering, mati, dan mandeg jika tidak dihidupkan secara terus-menerus melalui penafsiran ulang sejalan dengan dinamika sosial. Penafsiran terhadap Al-Quran, menurutnya, banyak mengandung problem lantaran rentang waktu dan situasi yang sangat jauh berbeda antara dulu dan sekarang. 
Lepas dari berbagai pendapat mengenai Al-Qur’an diatas Hermeneutika sendiri semula merupakan tradisi interpretasi Bibel, dan telah disusupkan kedalam tradisi keilmuan Islam dan diaplikasikan untuk menggantikan metode tafsir Al-Qur`an. Pada masa modern, hermeneutika dipelopori oleh Friedrich Schleiermacher. Tokoh teolog Protestan ini dikenal sebagai Bapak Hermeneutika Modern yang pertama kali berusaha membakukan hermeneutika sebagai metode umum interpretasi yang tidak terbatas pada interpretasi kitab suci atau kitab sastera. Kemudian Dilthey menerapkannya sebagai metode sejarah, lalu Hans-Georg Gadamer mengembangkannya menjadi ‘filsafat’, Paul Ricoeur menjadikannya sebagai ‘metode penafsiran fenomenologis-komprehensif’. Selain itu para filosof seperti Jurgen Habermas, Jacques Derrida, dan Michael Foucault, mengembangkan sebentuk "kritik hermeneutik", yaitu analisis atas proses pemahaman manusia yang sering terjebak dalam otoritarianisme, khususnya karena tercampurnya determinasi sosial-budaya-psikologis dalam kegiatan memahami sesuatu, Fahruddin Faiz, (Harmeunetika Qur’ani. 9).
Namun, jauh sebelum terjemahan dalam bahasa latin, al-Farabi (w.339/950), seorang ahli filsafat Muslim terkemuka, telah menerjemahkan dan memberi komentar karya Aristotle itu terlebih dahulu ke dalam bahasa Arab dengan judul Fi al-‘Ibarah. Jadi dari segi bahasa sebenarnya hermeneutics itu artinya adalah pemahaman (to understand), yaitu bagaimana kita memahami sesuatu, khususnya pemahaman tentang teks tertentu.
Dengan demikian, agar kita tidak terbawa pada wacana diatas yang seolah-olah saling tarik menarik antara ya dan tidak. Maka, perlu kita ketehhui terlebih dahulu hal-hal yang mendasar dari tema tersebut sebelum akhirnya menarik sebuah benang merah atas permasalahan-permasalahan serta perbedaan-perbedaan yang ada didalamnya. Oleh karenanya perlu kiranya dibentuk sebuah rumusan masalah agar pembahasan ini tidak terlalu melebar yaitu : 1) Bagaimana Definisi, Sejarah, dan teori-teori Hermeneutika?. Dengan tujuan, untuk mengetahui definisi, sejarah, dan teori  hermeneutika.















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Definisi Mermeneutika
Secara terminologi hermeunetika adalah sebuah seni tafsir yang berasal dari bahasa Yunani. Hermeunetika berasal dari kata Yunani, hermeneuien yang berarti tafsir atau interpretasi. Plato menyebut para penyair dengan sebutan hermenes (penafsir) para Tuhan. Arostoteles juga menggunakan istilah ini di dalam bukunya pada bab logika proposisi yang bertajuk “Peri Hermeneias”, yang bermakna “Bab Tafsir”. Secara lenguistik, kata ini berhubungan erat dengan kata hermez, yang bermakna Tuhan orang-orang Yunani, dimana sebagai utusan “Tuhan Perbatasan”. Para sarjana memahami kata ini mempunyai tiga gradasi prinsip interpretasi: pertama, matan atau teks, yakni pesan yang muncul dari sumbernya, kedua, perantara, yakni penafsir (hermes) dan ketiga, perpindahan pesan ke pendengar (lawan bicara).
Hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bible (the study of the general principle of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible. Salah satu prinsip penting dalam hermeneutika untuk memahami satu teks adalah menganalisis kondisi pengarang dari teks tersebut.  (http://swaramuslim.net/more.php?id=A119_…).
Menurut Adian Husaini (Husaini, 2007 : 8)., hermeneutika bukan sekedar tafsir, melainkan satu “metode tafsir” tersendiri atau satu filsafat tentang penafsiran, yang bisa sangat berbeda dengan metode tafsir Al-Quran. Di kalangan Kristen, saat ini, penggunaan hermeneutika dalam interpretasi Bible sudah sangat lazim, meskipun juga menimbulkan perdebatan.
Mudjia Raharjo (2008: 30) menegaskan bahwa, mempelajari hermeneutika di tengah-tengah kompleksitas persoalan kehidupan masyarakat saat ini sangat penting. Dari beberapa kemungkinan pelajaran yang bisa dipetik dari kajian hermeneutika adalah salah satu yang paling penting adalah kesadaran bahwa upaya menafsirkan, memberi makna, untuk kemudian memahami, bukan merupakan sebuah proses sederhana. Terdapat beberapa kaidah yang dijadikan pedoman. Kaidah pertama, bahwa untuk sampai pada pemahaman, dibutuhkan keterlibatan dan atau partisipasi. Dengan demikian, seseorang yang berusaha memahami, harus menghayati dirinya sebagai instrumen yang peka dalam proses pemahaman.
Lebih jelasnya Hermeneutika, sebagaimana disebut di atas, pada dasarnya merupakan suatu metode penafsiran yang berangkat dari analisis bahasa dan kemudian melangkah ke analisis konteks, untuk kemudian “menarik” makna yang didapat ke dalam ruang dan waktu saat proses pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan. Jika pendekatan hermeneutika ini dipertemukan dengan kajian Al-Qur`an, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks Al-Qur`an hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dengan dinamika realitas historisnya? (Faiz, 2005).
Jika memang benar mermeneutika sebagai tafsir interpretasi dari tiga komponen antara teks, konteks, dan kontekstual maka, Hartono Ahmad Jaiz (halaman 29). menganggap aksin wijaya kurang ajar dengan mengatakan: Al-Qur’an diletakkan pada posisi setidak-tidaknya sederajat dengan akal dan akal berhak menganalisa al-Qur’an, kalau tidak justru ditempatkan di bawah akal.
Sikap dingin disampaikan oleh Molyadi Samuel menurutnya hermeneutika biasa-biasa saja, tidak ada yang aneh, jika hermeneutika ber­hasil diterapkan pada Bibel, atau bahkan mungkin Bibel memerlukannya. Karena menurut penelitian para Kristolog, baik dari kalangan Muslim maupun non Muslim, kitab Bibel yang tidak lagi ditulis dengan bahasa aslinya itu ditulis oleh banyak penga­rang dengan versi yang berbeda-beda. Dan perbeda­an antara yang satu dengan yang lain pun sangat signifi­kan. Bahkan masing-masing Bibel seakan berlomba dalam menambah atau mengurangi antara satu dengan lainnya. (Pemalsuan Alkitab Victory Press-Surabaya, 2002).

B. Sejarah Hermeneutika
Kiranya kurang afdhal ketika suatu permasalahan penuh dengan determinasi tanpa melibatkan sisi historis didalamnya, termasuk hermeneutika itu sendiri karena sebuah konsep tidak lahir dari ruang kosong. Ada lingkungan yang turut mempengaruhi. Adapun kelahiran hermeneutika serta membentuk konsepnya. Dalam analisis Werner, setidaknya ada tiga lingkungan yang mendominasi pengaruh terhadap pembentukan hermeneutika hingga sekarang:
1. Masyarakat yang terpengaruh mitologi Yunani.
2. Masyarakat Yahudi dan Kristen yang mengalami masalah dengan teks kitab “suci” agama mereka.
3. Masyarakat Eropa zaman pencerahan (Enlightenment) yang berusaha lepas dari otoritas keagamaan dan membawa hermeneutika keluar konteks keagamaan.
Ketiga hierarki tersebut tidak terjadi secara bersamaan, akan tetapi merupakan tahapan tahapan. Berdasarkan analisis tersebut, Hamid Fahmi Zarkasyi mempertegas kembali tiga tahapan tersebut kedalam bahasa yang berbeda yaitu:
1. Dari mitologi Yunani ke teologi Yahudi dan Kristen.
2. Dari teologi Kristen yang problematik ke gerakan rasionalisasi dan filsafat.
3. Dari hermeneutika filosofis menjadi filsafat hermeneutika.

Dari filsafat hermeneutika inilah akhirnya hermeneutika dikembangkan dan diujicoba untuk dimasukkan dalam kajian-kajian al-Quran oleh Fazlur Rahman (1919-1998), Aminah Wadud, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, yang kemudian diadapsi oleh pemikir-pemikir yang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL) seperti Ulil Abshar Abdalla, Lutfhie Assyaukanie dan Taufik Adnan Amal.
1. Dari Mitologi Yunani ke Teologi Yahudi dan Kristen
Dalam mitologi Yunani, dewa-dewa dipimpin oleh Zeus bersama Maia. Pasangan ini mempunyai anak bernama Hermes. Hermes inilah yang bertugas untuk menjadi perantara dewa dalam menyampaikan pesan-pesan mereka kepada manusia. Metode hermeneutika secara sederhana merupakan perpindahan fokus penafsiran dari makna literal atau makna bawaan sebuah teks kepada makna lain yang lebih dalam. Dalam artian ini, para pengikut aliran filsafat Antisthenes yang didirikan sekitar pertengahan abad ke-4 sebelum masehi telah menerapkan hermeneutika pada epik-epik karya Homer (abad IX SM).
Menurut pandangan mereka Zeus diartikan sebagai Logos (akal), luka Aphrodite-dewi kecantikan-sebagai kekalahan pasukan Barbar dan sebagainya. Dasar mereka adalah kepercayaan bahwa dibalik perkataan manusia pun sebenarnya ada inspirasi Tuhan. Kepercayaan tersebut sejatinya refleksi pandangan hidup orang-orang Yunani saat itu. Walaupun hermeneutika sudah diterapkan terlebih dahulu, namun istilah hermeneutika pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM).
Dalam definitione Plato dengan jelas menyatakan hermeneutika artinya “menunjukkan sesuatu” dan dalam Timeus Plato mengaitkan hermeneutika dengan otoritas kebenaran. Stoicisme (300 SM) kemudian mengembangkan hermeneutika sebagai ilmu interpretasi alegoris.
Metode alegoris ini dikembangkan lebih lanjut oleh Philo of Alexandria (20 SM-50M), seorang Yahudi yang disebut sebagai Bapak metode alegoris. Ia mengajukan metode bernama typology yang menyatakan bahwa pemahaman makna spiritual teks tidak berasal dari teks itu sendiri, akan tetapi kembali pada sesuatu yang berada di luar teks. Philo menerapkan metode ini atas Kitab Perjanjian Lama, ia menginterpretasikan “pohon kehidupan” sebagai “takut kepada Tuhan”, “pohon pengetahuan” sebagai “hikmah”, “empat sungai yang mengalir di surga” sebagai “empat kebajikan pokok”, “Habil” sebagai “takwa yang bersumber dari akal”, “Qabil” sebagai “egoisme” dan sebagainya.
Hermeneutika alegoris ini kemudian diadapsi dalam Kristen oleh Origen (185-254 M). Ia membagi tingkatan pembaca Bibel menjadi tiga: a) Mereka yang hanya membaca makna luar teks. b) Mereka yang mampu mencapai ruh Bibel. c) Mereka yang mampu membaca secara sempurna dengan kekuatan spiritual. Origen juga membagi makna menjadi tiga lapis, yang kemudian dikembangkan oleh Johannes Cassianus (360-430 M) menjadi empat: makna literal atau historis, alegoris, moral dan anagogis atau spiritual. Namun metode ini ditentang oleh gereja yang berpusat di Antioch. Hingga munculnya St. Augustine of Hippo (354-430 M) yang mengenalkan semiotika.
Di antara pemikir Kristen lain yang ikut menyumbangkan pemikirannya dalam asimilasi teori hermeneutika dalam teologi Kristen adalah Thomas Aquinas (1225-1274). Sementara itu, Kristen Protestan membentuk sistem interpretasi hermeneutika yang bersesuaian dengan semangat reformasi mereka. Prinsip hermeneutika Protestan berdekatan dengan teori yang digulirkan Aquinas.
Di antaranya keyakinan bahwa kehadiran Tuhan pada setiap kata tergantung pada pengamalan yang diwujudkan melalui pemahaman yang disertai keimanan (self interpreting). Protestan juga berpandangan bahwa Bibel saja cukup untuk memahami Tuhan (sola scriptura), di sisi lain, Kristen Katolik dalam Konsili Trent (1545) menolak pandangan ini dan menegaskan dua sumber keimanan dan teologi Kristen, yaitu Bibel dan tradisi Kristen.
2. Dari Teologi Kristen ke Gerakan Rasionalisasi dan Filsafat
Dalam perkembangan selanjutnya, makna hermeneutika bergeser menjadi bagaimana memahami realitas yang terkandung dalam teks kuno seperti Bibel dan bagaimana memahami realitas tersebut untuk diterjemahkan dalam kehidupan sekarang. Satu masalah yang selalu dimunculkan adalah perbedaan antara bahasa teks serta cara berpikir masyarakat kuno dan modern.
Dalam hal ini, fungsi hermeneutika berubah dari alat interpretasi Bibel menjadi metode pemahaman teks secara umum. Pencetus gagasan ini adalah seorang pakar filologi Friederich Ast (1778-1841). Ast membagi pemahaman teks menjadi tiga tingkatan: a) Pemahaman historis, yaitu pemahaman berdasarkan perbandingan satu teks dengan yang lain. b) Pemahaman ketata-bahasaan, dengan mengacu pada makna kata teks. c) Pemahaman spiritual, yakni pemahaman yang merujuk pada semangat, mentalitas dan pandangan hidup sang pengarang terlepas dari segala konotasi teologis ataupun psikologis.
Dari pembagian di atas, dapat dicermati bahwa obyek penafsiran tidak dikhususkan pada Bibel saja, akan tetapi semua teks yang dikarang manusia.
3. Dari Hermeneutika Filosofis ke Filsafat Hermeneutika.
Pergeseran fundamental lain yang perlu dicatat dalam perkembangan hermeneutika adalah ketika hermeneutika sebagai metodologi pemahaman berubah menjadi filsafat. Perubahan ini dipengaruhi oleh corak berpikir masyarakat modern yang berpangkal pada semangat rasionalisasi. Dalam periode ini, akal menjadi patokan bagi kebenaran yang berakibat pada penolakan hal-hal yang tak dapat dijangkau oleh akal atau metafisika.
Babak baru ini dimulai oleh Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768- 1834) yang dianggap sebagai bapak hermeneutika modern dan pendiri Protestan Liberal. Salah satu idenya dalam hermeneutika adalah universal hermeneutic. Dalam gagasannya, teks agama sepatutnya diperlakukan sebagaimana teks-teks lain yang dikarang manusia. Pemikiran Schleiermacher dikembangkan lebih lanjut oleh Wilhelm Dilthey (1833-1911), seorang filosof yang juga pakar ilmu-ilmu sosial. Setelahnya, kajian hermeneutika berbelok dari perkara metode menjadi ontologi di tangan Martin Heidegger (1889-1976) yang kemudian diteruskan oleh Hans-Georg Gadamer (1900-1998) dan Jurgen Habermas (1929- ).

C. Teori-teori Hermeneutika
1. Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834).
Model hermeneutika sebelum Schleiermacher masih terbagi menjadi dua kelompok besar, hermeneutika filologis yang diterapkan atas teks-teks Romawi dan Yunani kuno serta hermeneutika teologis yang dipakai dalam interpretasi kitab suci (Bibel). Namun Schleiermacher menyatakan bahwa seorang interpret harus berada di atas objek interpretasinya, baik teks klasik maupun Bibel.
Poin penting lain dalam pemikiran universal hermeneutics Schleiermacher adalah persamaan sikap atau perlakuan antara Bibel dengan teks karya manusia. Karena permasalahan tidak terletak pada materi akan tetapi cara memahaminya. Sebagai konsekuensinya, kajian filologi teks dan teologi dalam Bibel disubordinasikan kepada problem penafsiran yang umum.      
Schleiermacher juga berpendapat bahwa kesalahpahaman dalam interpretasi berakar pada perbedaan pandangan hidup dan sebagainya yang disebabkan oleh perbedaan zaman dan rentang waktu antara pengarang dan penafsir. Makna sebenarnya sebuah teks didapatkan dengan rekonstruksi historis saat teks tersebut ditulis. Jadi apa yang dimaksud oleh sebuah teks bukanlah apa yang kelihatannya dikatakan kepada sang pembaca. Dalam pembacaan teks, Schleiermacher berpendapat bahwa interpretasi dapat dicapai dengan dua cara, yaitu ketata-bahasaan dan psikologis (grammatical and psychological interpretation). Interpretasi tata-bahasa berfungsi untuk menyingkap arti sebuah kata dan interpretasi psikologis berfungsi untuk mengetahui motif pengarang ketika menulis teks tersebut.
Schleiermacher juga menegaskan bahwa makna setiap kata harus dipahami sebagai bagian dari keseluruhan mental pengarang. Ketika tahapan ini dicapai, maka seorang penafsir dapat memahami teks sebaik pengarang atau bahkan lebih baik darinya dan memahami diri sang pengarang lebih baik dari pengarang memahami dirinya sendiri.
2. Wilhelm Dilthey
Teori hermeneutika Dilthey banyak dipengaruhi oleh Schleiermacher, Dilthey sepakat bahwa dengan hermeneutika, seorang penafsir dapat memahami teks sebaik atau lebih baik dari pengarang teks itu sendiri. Untuk itu Dilthey membagi pemahaman menjadi tiga tingkat:
a.       Pemahaman sebagai menangkap sebuah makna dengan melalui tanda yang menunjukkan atau mewakili apa yang dimaksud
b.      Nacherleben, mengimbas kembali perasaan dan pengalaman yang dipercayai telah dialami oleh pengarang dengan berdasarkan pengalaman yang terwujudkan dalam ungkapan yang dapat diakses
c.       Besserverstehen. Di tingkatan inilah seorang penafsir dapat memahami maksud sebenarnya seorang pengarang. Makna dalam tingkatan ini adalah asumsi bahwa makna dalam konteks, signifikansi dan implikasi sebuah pernyataan, tindakan atau peristiwa tidak pernah bisa tetap dan sempurna. Ide yang mendasari teori tingkatan terakhir Dilthey adalah pertimbangan unsur historis teks. Menurutnya unsur historis memegang peran penting karena yang dikaji adalah teks dengan segala keterkaitannya dengan komponen sejarah yang lain. Karena itu Dilthey mengkritik Schleiermacher yang telah mengabaikan sisi sejarah dalam interpretasi teks.

3. Mohammed Arkoun
Arkoun berpandangan bahwa banyak hal yang terdapat dalam Islam yang unthinkable (tak terpikirkan) karena kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi. Sebagai contohnya adalah mushaf Utsmani yang ia anggap sebagai representasi unthinkable. Arkoun menganjurkan free thinking (berpikir liberal) untuk mengubah unthinkable menjadi thinkable. Ia beralasan bahwa free thinking merupakan respon terhadap dua kebutuhan utama, pertama, umat Islam perlu memikirkan masalah masalah yang tak terpikirkan sebelumnya dan kedua, umat Islam Islam perlu membuka wawasan baru melalui pendekatan sistematis lintas budaya terhadap masalah-masalah fundamental.
Dalam konteks al-Quran, Arkoun melihat bahwa penolakan umat Islam terhadap biblical criticism karena alasan politis dan psikologis. Alasan politis karena mekanisme demokratis belum berlaku dan psikologis karena pandangan “khalq al-Qur’ân” Mu’tazilah tertolak. Arkoun juga membagi wahyu menjadi dua tingkatan:
a.       Umm al-kitâb. Wahyu jenis ini berada di lauh al-mahfûzh, bersifat abadi, tak terikat waktu dan mengandung kebenaran tertinggi.
b.      Apa yang disebut Arkoun sebagai wahyu edisi dunia (terrestres edition). Termasuk dalam wahyu ini adalah al-Quran dan Bibel.
Menurutnya wahyu edisi dunia ini telah mengalami modifikasi, revisi dan substitusi. Selain itu Arkoun juga membagi sejarah al-Quran dalam tiga periode:
a.       Masa Prophetic Discourse (610-632 M).
 Al-Quran periode ini lebih suci dan otentik dibanding periode-periode lain. Sebabnya al-Quran periode ini berbentuk lisan yang terbuka untuk semua arti yang mungkin.
b.      Masa Official Closed Corpus (12-324 H/632-936 M). Arkoun berpendapat bahwa al-Quran di masa ini telah tereduksi dari al-kitâb al-mûhâ menjadi tak lebih dari buku biasa. Karena itu mushaf menurutnya tak patut untuk disucikan.
4. Nasr Hamid Abu Zayd
Jika Arkoun menggunakan pendekatan historis terhadap al-Quran, Nasr Hamid Abu Zayd memilih untuk mengaplikasikan metode analisis teks bahasa-sastra. Abu Zayd berpijak pada pendapat bahwa al-Quran walaupun ia merupakan kalam ilahi, namun al-Quran menggunakan bahasa manusia. Karena itu ia tak lebih dari teks-teks karangan manusia biasa.
Menurut Abu Zayd, al-Quran telah terbentuk oleh realitas dan budaya Arab selama kurang lebih 20 tahun. Oleh sebab itu, ia mengatakan bahwa al-Quran merupakan produk budaya (muntaj tsaqâfî). Al-Quran yang terbentuk melalui realitas, budaya dan terungkapkan dalam bahasa menjadikan al-Quran sebagai teks bahasa. Sedang realitas, budaya dan bahasa itu sendiri tak lepas dari sisi historis yang melingkupinya, karena itu al-Quran juga merupakan teks historis. Ia juga mengkritik paradigma penafsiran yang dipakai oleh para ulama, menurutnya muatan metafisis yang selalu tercamkan dalam benak mereka tidak mendorong pada sikap ilmiah. (Mustaqim, Abdul & Syamsudin, Sahiron, hal.104-117).
Dari teori-teori diatas Hans-Georg Gadamer (1900-) menyimpulkan, interpretasi selalu pose sendirinya apabila isi makna karya dicetak diperdebatkan dan merupakan masalah mencapai pemahaman yang benar dari 'informasi'. tidak apa yang pembicara atau penulis awalnya kata, tapi apa yang dia ingin mengatakan memang bahkan lebih: apa yang akan ingin mengatakan kepada saya jika saya telah bicaranya aslinya. Ini adalah sesuatu dari perintah untuk interpretasi bahwa teks harus diikuti, sesuai dengan arti yang bermakna (Sinnesgemäß) (dan tidak secara harfiah). Dengan demikian kita harus mengatakan teks tersebut bukan objek tertentu, tetapi tahap dalam pelaksanaan acara komunikatif.
Meskipun hermeneutika mempunyai niat baik dalam menatap masa depan ditengah persoalan-persoalan yang semakin ruwet dan rumit. Abdurrahman Al-Baghdadi tetap saja tidak sepakat jika hermeneutika diasumsikan untuk menggantikan tafsir yang sudah lumrah dipakai dalam al-qur’an. Menurutnya, menafsikan Al-Quran haruslah dengan cara yang sesuai dengan Al-Quran itu sendiri. Yaitu dengan tekstual, dan bukan dengan kontekstual (sesuai dengan situasi dan konsisi) seperti teori-teori yang sudah dijelaskan sebelumnya. Kemudian kita juga harus mengetahui terlebih dahulu apa yang dikemukakan oleh Al-Quran, yaitu dengan mempelajarinya secara ijmal (garis besar) sehingga hakikat yang dikemukakan oleh Al-Quran itu tampak jelas. Selain itu juga kita harus mempelajari dari segi lafazh dan maknanya sesuai dengan ketentuan bahasa Arab dan keterangan Rasulullah SAW. Dan untuk memahami ayat-ayat kauniah, kita juga membutuhkan wawasan khusus tentang ilmu pengetahuan (sains) yang berkembang dari waktu ke waktu.
walaupun Al-Qur’an merupakan risalah ilahi yang tak munngkin dipahami secara keseluruhannya kecuali apa yang disampaikan Rasulullah seperti yang disampaikan oleh Abdurrahman Al-Baghdadi, ternyata pernyataan tersebut mengajak Komaruddin Hidayat selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah untuk angkat bicara dalam karyanya “Menafsirkan Kehendak Tuhan” (Jakarta: Teraju, 2004, Cet. II). Dalam karyanya tersebut, ia menegaskan bahwa al-Qur`an haruslah dilihat dari perspektif teologi dan filsafat linguistik. menurutnya, dari sudut historis dan filsafat linguistik, pandangan di atas menimbulkan problem tersendiri. Begitu kalam Tuhan telah membumi dan sekarang malah menjelma ke dalam teks, maka al-Qur`an tidak bisa mengelak untuk diperlakukan sebagai objek kajian hermeneutik Karena umat beragama tidak berjumpa langsung dengan Tuhan ataupun Malaikat Jibril sebagaimana yang dialami Rasulullah, melainkan hanya dalam bentuk teks dan tafsiran yang diantarkan pada kita melalui mata-rantai tradisi. Itu artinya, teks al-Qur`an kemudian memiliki dua dimensi; sakral dan profan, absolut dan relatif, historis dan metahistoris. Tegasnya, teks al-Qur`an tidak ada bedanya dengan teks-teks lainnya yang bersifat terbuka untuk digugat dan dikritisi.
Dalam renungan mudjia raharjo (2008: 30), bahwa pada dasarnya manusia adalah merdeka, yang karena itu sangat wajar kalau saling berbeda. Selanjutnya, walaupun ada perbedaan pada dasarnya manusia adalah setara. Keseragaman dalam batas tertentu bisa dicurigai sebagai akibat ketiadaan kemerdekaan. Keseragaman juga dalam batas tertentu bisa dicurigai sebagai akibat adanya relasi sosial yang tidak setara, sehingga satu orang atau kelompok bisa memaksakan kehendak kepada orang lain atau kelompok lain. Begitu pun dalam upaya penafsiran harus dilihat sebagai proses pendekatan (approximation) kepada makna sejati. Ini dilakukan dengan senantiasa merenungkan dan mengadili setiap makna berdasarkan lingkaran pemahaman, bahwa setiap bagian tidak berbenturan dengan keseluruhan. Ketidak-sesuaian antara bagian dengan bagian, dan antara bagian dengan keseluruhan, merupakan penanda kekurang-tepatan proses dan hasil penafsiran.
Maxson1962 (Majalah Respon, Majlis Tafsir Al-Quran. Edisi 219/TH XXIII MEI 2008)  menganggap cendekia-cendekia yang punya pemikiran free thinking lawak yang sedang melucu, menurutnya, dalam metode hermeneutika, kita tidak lagi melakukan reproductive reading tapi kita memproduksi makna baru dari teks itu sendiri. Maka ia disebut sebagai productive reading, yaitu membaca secara produktif. Jadi karena pengarangnya sudah mati, maka kita bisa membaca dan bisa memahaminya semampu dan semau kita dengan makna baru yang kita produksi sendiri. Mau diapakan saja teks itu terserah kepada pembaca. Dalam hal ini pembaca berada dalam posisi sangat bebas untuk mengartikan dan memahami teks. Inilah yang disebut dengan productive reading yang dalam bahasa Arab disebut dengan qiro’ah muntijah. Hal ini tentu tidak bisa diterapkan untuk Al-Qur’an Al-Karim, khususnya tentang apa-apa yang sudah qoth’i atau pasti.  Kita harus selalu di belakang Al-Qur’an, kita di belakang Allah subhanahu wata’ala.
Dengan demikian. teori yang telah dipaparkan diatas oleh para hermeneut yang menimbulkan ketidak sepahaman bagi sebagian golongan dapat ditarik benang merahnya bahwa, Dalam mekanismenya, hermeneutika menuntut penafsir untuk kembali merujuk pada masa awal teks tersebut tertulis demi mengetahui ruang lingkup yang mengitari pembentukan teks, berikut sisi psikologis sang pengarang untuk mengetahui inti maksud teks tersebut dengan kata lain apa yang tersirat dalam teks tersebut dan yang mendorong lahirnya teks tersebut. Penafsir kemudian berusaha untuk mengartikan teks tersebut sesuai dengan konteks sekarang. Teori semacam itu ketika ditarik kedalam Al-Qur’an maka, mungkin tidak kita menyelidiki sisi psikologis sang pengarang?

D. Analisa dan Kritik
Dengan pembahasan panjang lebar tentang hermeneutika dari yang paling mendasar melalui canana-wacana dan teori-teori oleh berbagai tokoh. Tibalah saatnya untuk menganalisis kemudian membandingkan dengan ilmu Al-Qur’an. 
1.    Jika dilihat dari faktor munculnya hermeneutika, ide untuk menerapkan hermeneutika muncul karena desakan rasionalisasi yang dipelopori oleh filsafat Yunani waktu itu. Syair Homer yang dianggap mengandung pesan Ilahi, di mata para filosof lebih dekat pada mitos dari pada kenyataan. Hal yang sama terjadi pada kitab suci umat Yahudi dan Kristen, Bibel. Problem yang mereka hadapi tak kalah kompleksnya. Hingga kini, tak seorangpun yang dapat memastikan siapa penulis Bibel yang sebenarnya. Pun naskah.
Bibel yang otentik belum ditemukan hingga hari ini. Belum lagi perbedaan antara versi Injil kanonik yang terkadang cenderung bertentangan. Di sisi lain, pengaruh filsafat yang semakin menguat menjadikan teks bibel tak ubahnya cerita fiktif. Akal sehat pastilah berkata bahwa Tuhan tidak akan menurunkan kitab suci yang penuh pertentangan. Dan Bibel yang mereka yakini dari Tuhan mengandung banyak hal yang bertentangan. Harus ada cara untuk “mendamaikan” pertentangan tersebut. Oleh karena itu, dikembangkanlah teori bahwa Bibel adalah hasil karya para penulisnya dan Tuhan menurunkan wahyunya kepada para penulis wahyu dalam bentuk inspirasi. Akan tetapi apakah itu inspirasi, belum ada jawaban pasti.
Kelebihan Hermeneutika dibanding penafsiran yang berangkat dari makna literal teks adalah kemampuannya untuk mendamaikan pertentangan yang tajam antar teks. Karena ia beralih menuju artian lain yang lebih dalam. Kondisi yang berbeda kita dapati dalam al-Quran. Al-Quran tidak mengalami permasalahan dari segi sejarah. Jika perjanjian lama sebelum ditulis hanya bersandar pada transmisi oral yang tak jelas riwayat juga sanadnya, al-Quran telah dihafal oleh puluhan sahabat di bawah bimbingan Rasulullah Saw. Selain itu al-Quran telah ditulis sejak turunnya dan terkodifikasikan dengan baik di masa khalifah ‘Utsmân ra.
Dari segi pewahyuan, al-Quran sendiri telah menjelaskan bahwa peran Nabi Saw. dalam proses pewahyuan adalah pasif. Nabi Saw. hanya menerima wahyu tanpa merubah redaksinya sedikit pun. Bahkan Allah Swt. Sendiri telah menyampaikan ancamannya terhadap Rasulullah Saw. jika beliau Saw. lancang mengutak-atik wahyu yang diturunkan padanya.
2.    Hermeneutika dalam hal ini adalah teori interpretasi yang hanya dapat digunakan terhadap teks-teks yang manusiawi. Sebab tak mungkin kita menyelidiki sisi psikologis Tuhan sesuai konsep Schleiermacher misalkan. Atau menelusuri komponen sejarah yang mempengaruhi Tuhan, seperti teori Dilthey. Sedang konsep al-Quran, wahyu dan sejarahnya membuktikan otentisitas bahwa al-Quran lafzhan wa ma‘nan dari Allah Swt.
Konsekuensinya, konsep Hermeneutika tidak dapat diterapkan atas al- Quran. Karena itu para pengusung hermeneutika mau tak mau harus mendekonstruksi konsep yang sudah matang tersebut. Dekonstruksi konsep ini bertujuan untuk mengurangi nilai ilahiah dalam al-Quran dan menegaskan bahwa unsur-unsur manusiawi telah tercampur di dalamnya. Jika proyek dekonstruksi ini berhasil, maka jalan bagi penerapan hermeneutika atas al-Quran akan terbuka lebar.
Nasr Hamid Abu Zayd, misalkan, ia menyatakan bahwa al-Quran adalah produk budaya (muntaj tsaqâfî). Al-Quran karena menggunakan bahasa Arab yang notabene digunakan manusia, maka ia telah menjadi teks bahasa. Teks ini telah melalui proses panjang berdialog dengan budaya dan masyarakat.
Hubungan antara teks dan masyarakat merupakan hubungan timbal balik (al-tasyakkul wa al-tasykîl, istilah Nasr Hamid), dimana kenyataan membentuk teks dan teks kembali pada masyarakat dengan pandangan baru. Ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam ide Nasr Hamid tersebut.a) Al-Quran bukanlah teks Arab biasa dan tidak dilahirkan oleh budaya. Hal ini sejalan dengan kesulitan para sahabat sendiri untuk memahami beberapa kosakata al-Quran. Selain itu, gaya bahasa al-Quran benar-benar khas, tidak dikenali bangsa Arab sebelumnya. Yang terjadi justru sebaliknya, al-Quran merubah konsep-konsep jahiliyah seperti kemuliaan, dan memaknai kosakata Arab dengan arti yang baru, seperti shalâh dan sebagainya. b) Pandangan Nasr Hamid bahwa al-Quran produk budaya sekaligus produsen melalui proses al-tasyakkul wa al-tasykîl adalah rancu. Ia menggabungkan dua hal yang saling bertentangan (istihâlah jam‘ alnaqîdlain). c) Muhammad Imarah menyatakan bahwa ide Nasr Hamid berdasar atas teori dialektik materialis a la Marxisme. Hal ini sejalan dengan ungkapannya bahwa peradaban Islam terbangun berporos pada teks. Namun bukan teks itu sendiri yang membuat peradaban, budaya dan ilmu, akan tetapi proses dialog antara manusia, realita dan teks. Pencangkokan teori dialektik materialis ini mengandung permasalahan yang sangat mendasar. Marxisme menafikan metafisika dan meyakini bahwa apa yang ada di dunia ini merupakan hasil hubungan antara satu materi dengan materi lain. Sedang salah satu esensi Islam adalah unsur rabbaniyah. Menerapkan dialektik materialis sama saja dengan mengabaikan unsur dasar tersebut dan menjadikan Islam tak ubahnya agama buatan manusia.
3.      Jika dibandingkan antara tafsir dan hermeneutika, tafsir lebih mempunyai pondasi tradisi yang kuat. Sumber primer tafsir dalam Islam adalah al- Quran, Rasulullah Saw. dan sahabat. Tafsir yang berasal dari ketiga sumber tersebut ditransmisikan melalui jalur riwayat yang jelas. Rasulullah Saw. menjelaskan arti ayat dengan otoritas yang diberikan oleh Allah Swt. Kepada para sahabat. Selanjutnya para sahabat mendirikan madrasah-madrasah tafsir sebagai wadah untuk meneruskan rantai riwayat kepada tabi’in. Usai masa tabi’in, muncul upaya untuk mengkodifikasikan tafsir diikuti dengan penetapan syarat-syarat mufassir. Akibat masalah otentisitas Bibel, agama Yahudi dan Kristen tidak mengenal arti Bibel langsung dari sumbernya atau yang berotoritas. Karena itu mereka mengadopsi hermeneutika dari tradisi Yunani untuk mempertahankan status Bibel sebagai kitab suci. Ironisnya, ketika hermeneutika mulai diterapkan, “kesucian” Bibel justru dibongkar karena dianggap merintangi upaya penafsiran yang ilmiah. Puncaknya terjadi ketika Schleiermacher menyamakan antara teks bibel dan teks Yunani atau Romawi kuno.
Lepas dari kritik serta analisa juga perbedaan antara tafsir dan hermeneutika yang lebih cenderung keilmiahaanya ilmu tafsir dibanding hermeneutika, ternyata  Robi’atul Mariyah dan Ummy Kultsum dengan mengutip pendapatnya Hasan Hanafi (hal. 7-8) justru Al-Qur’an pun terganjal dengan sejarahnya. Konsep Hermeunetika aksiomatik yang oleh Hassan Hanafi dijadikan sebagai pijakan kritik terhadap keaslian redaksi kitab suci, ternyata menjadi senjata makan tuan. Syarat-syarat yang diajukan oleh Hassan Hanafi dalam Hermeunetika Aksiomatik yang menelaah tentang keotentikan kitab suci membawa beliau pada kenyataan bahwa al-Quran pun terganjal dalam data sejarah atas kodifikasi (pembukuan) al-Quran itu sendiri.
Al-Quran selain sebagai produk sejarah, ia merupakan hasil interaksi orang-orang abad ke-7 dan 8 M dengan masyarakat sekeliling mereka. Mushaf yang ada sekarang jauh berbeda dengan mushaf yang ada pada sahabat lainnya. Contoh kongkrit, lihat saja perbandingan sepele yang sangat tajam mengenai perbedaan antara mushaf Utsmani yang sekarang kita pegang dengan mushaf lainnya seperti Mushaf Ibnu Mas’ud, Ibn Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid, Muadz bin Jabal.
Kalaulah mushaf yang ada ditangan sahabat Ibnu Mas’ud, Ibn abbas dan sahabat-sahabat lain juga merupakan firman Tuhan, lalu mengapa dalam konteks sejarahnya harus dirampas, dibakar dan dilenyapkan.
Melihat sejarah diatas, terasa uraian teoritik Hassan Hanafi didalam memberikan penilaian yang berpijak pada kritik historis atas keaslian kitab al-Quran tergugurkan dengan sendirinya. Hal ini bisa terasa di beberapa uraiannya yang jarang menyinggung mengenai keotentikan al-Quran yang juga menjadi polemik perdebatan dikalangan orang Islam maupun non Islam.
Setelah mengetahui kenyataan diatas, apakah hermeunetika benar-benar mampu menjadi langkah pasti dalam menafsirkan al-Quran ataukah tidak sama sekali?. Al-hasil: semuanya kembali pada perspektif kita masing-masing. Tafsir dan hermeneutika merupakan paradigma kualitatif yang selalu menjadi perbincangan menarik walaupun terdapat berbagai macam perbedaan antara keduanya. Jika kita melihat dari sudut pandang negatif, maka semuanya menjadi negatif pun sebaliknya.
Yang perlu digaris bawahi pula ialah warisan dan tradisi Islam seharusnya tidak dipandang sebagi sesuatu yang sudah jadi, melainkan sebagai sesuatu yang terus berkembang dalam proses "menjadi". Dalam pemahamannya, dengan demikian otentisitas tanpa modernitas hanya akan membawa pada radikalisme yang pada gilirannya akan membawa Islam dan kaum muslimin semakin jauh dalam kegelapan. Begitu pula gerakan-gerakan modernitas perlu adanya pengawasan dari agama itu sendiri untuk menghindari kebutaan yang menyelimuti cara pandang dan pola pikir.











BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang sederhana diatas, maka dalam makalah ini dapat diambil sebuah kesimpulan akhir tentang tafsir hermeneutika sebagai berikut:
1.    Berangkat dari perjalanan historis hermeneutika itu sendiri maka, hermenetika adalah disiplin ilmu yang lahir dengan ruang dan waktu. konon lahirnya hermeneutika tersebut berawal dari nama seorang yang sangat dimitoskan oleh masyarakat Yunani, yaitu: Hormus, atau Hirmis, atau Harmas. Dia (Hemes) merupakan sosok yang bisa mengartikan kehidupan, mampu menakwil rahasia hidup ini. Perantara yang gaib dan zahir, yang universal dan parsial. Kerena kemampuannya ia diberi mandat oleh sang dewa untuk menyampaikan dan menerjemahkan pesan dewata yang masih samar ke dalam bahasa yang dipahami manusia.
Dari mitos yunani inilah kemudian hermeneutika semakin berkembang dan kemudian disusupkan kedalam teologi kristen untuk menginterpretasi bibel yang dianggap mengalami banyak pertentangan antar teks yang satu dengan teks lainnya. Jelang beberapa saat kemudian Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834) yang dianggap sebagai bapak hermeneutika merubah fungsi hermeneutika dari interpretasi bibel menjadi tafsir yang lebih umum. Menurutnya interpretasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu interpretasi atas tata bahasa dan psikologi pengarang, Interpretasi tata-bahasa berfungsi untuk menyingkap arti sebuah kata dan interpretasi psikologis berfungsi untuk mengetahui motif pengarang ketika menulis teks tersebut. Dalam hal ini Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher mengatakan apabila penafsir dapat memahami keseluruhan mental pengarang maka penafsir dapat lebih baik dari pengarang.
Namun Wilhelm Dilthey dengan teorinya menganggap apa yang dikatakan Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher masih kurang. Menurutnya kalau yang dikaji adalah teks maka harus ada yang dilibatkan yaitu sejarah (historis), karena dengan unsur historis inilah seorang penafsir dapat lebih memahami mental pengarang terhadap sebuah teks yang dikarangnya. Dengan demikian tafsir hermeneutika ini tidak hanya mengkaji teks yang sudah ada melainkan memahminya dari luar teks itu sendiri berikut sisi historinya sebelum akhirnya dibawa pada realitas yang terjadi.



DAFTAR RUJUKAN
Syakrur Muhammad. 2007. Prinsip Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer.Yokyakarta :  eLSAQ Press.
Abu Zaid, Nasr Hamid. 2005. Tekstualitas Al-Qur’an (Kritik terhadap Ulumul Qur’an). Yokyakarta : LKiS.
Faiz Fahruddin. 2005. Hermeneutika Al-Qur’an (tema-tema kontroversial). Yokyakarta :  eLSAQ Press.
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20071107174225AAjMYYR. (diakses pada tanggal 21 Oktober 2010. Jam 19.30 WIB).
http://www.scribd.com/doc/3933891/Hermeneutika-dan-Tafsir. (diakses pada tanggal 21 Oktober 2010. Jam 19.41 WIB).
http://idid.beta.facebook.com/note.php?note_id=396107589650&comments&ref=mf.(diakses pada tanggal 21 Oktober 2010. Jam 20.30 WIB).
http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=373:problematika-hermeneutika-dalam-tafsir-a l-quran-1&catid=43:aliran-me. (diakses pada tanggal 29 Oktober 2010. Jam 15.39 WIB).
http://alwyamru.blogspot.com/2010/05/hermeneutika-gadamer-relevankah.html. (diakses pada tanggal 29 Oktober 2010. Jam 19.30 WIB).
http://translate.google.com/translate?hl=en&sl=en&tl=id&u=http%3A%2F%2Fwww.ditpert is.net%2Fannualconference%2Fancon06%2Fmakalah%2FMakalah_Syahiron.doc. (diakses pada tanggal 29 Oktober 2010. Jam 17.25 WIB).
http://pemikiranislam.net/2010/03/hermeneutika-al-quran/. (diakses pada tanggal 27 Oktober 2010. Jam 12.55 WIB).
http://www.mizan-poenya.co.cc/2010/08/apakah-al-quran-memerlukan-hermeneutika.html
http://groups.yahoo.com/group/pakguruonline/message/8824. (diakses pada tanggal 27 Oktober 2010. Jam 13.36 WIB).